Ilmu Nahwu

Selasa, 14 Juni 2011

Rahasia bait awal Alfiyah

بسـم الله الرحمن الرحيم

Bait 5 :

وَتَقْتَضِي رِضَاً بِغَيْرِ سُخْطِ  #  فَـائِقَةً أَلْفِــــيَّةَ ابْنِ مُعْطِي

Maka ia menuntut keridhoan tanpa kemarahan (ketekunan dan kesabaran dalam mempelajarinya) # Ia telah mencakup Kitab Alfiyah karangan Ibnu Mu’thi (Imam Abu Zakariya Yahya putra Imam Mu’thie).
Qouluhu wa taqtadhie : Dalam bait 5 muqoddimah ini, Kyai Mushonnif  Syeikh Al-’alamah Imam Ibnu Malik menyampaikan pesan  khusus muatan kitab al-fiyahnya. Ia menuntut kepada keridloan ; dari Alloh SWT, pengarang dan dari yang mempelajarinya. Tekun dan sabar mempelajarinya dengan tidak disertai amarah. Alfiyah ini gaya bahasanya tidaklah sulit, mudah dicerna. Mampu mendekatkan pengertian yang jauh dalam ilmu nahwu dengan ungkapan yang ringkas. Kepadatan materinya dapat menjabarkan pengertian yang luas. Juga menyampaikan iklan bahwa karangan Al-fiyah kami (Kata Kyai Mushonif), sudah mencakup dan lebih unggul daripada alfiyah karangan Imam Ibnu Mu’thie.
Qouluhu Faiqotan : Bait ini disebutnya ‘Mutahharok’, -rubah ujung-, sebab asal lengkapnya, ‘faa ieqotan minha bi alfi baeti’.
Diceritakan bahwa setelah Kyai Mushonif selesai mengarang bait ini, mendadak semua karangan Al-fiyahnya hilang dari ingatan, mendadak menjadi lupa. Syahdan sampai 2 tahun lamanya, serta Kyai Mushonif sempat tidak sadarkan diri.
Dalam tidak sadarkan diri, syahdan Kyai Mushonif bermimpi jumpa dengan seseorang yang sudah sepuh. Kemudian orang tsb mengajukan pertanyaan kepada Kyai Mushonif :
“Bukankah engkau mengarang Al-fiyah, sudah sampai dimana ?”. Lantas orang tsb memberikan bait berikut,
“Wal hayyu qod yaghlibu alfa mayyiti”. (Dan adapun seorang yang hidup, terkadang dapat mengalahkan seribu orang yang telah meninggal).
Adapun orang yang dijumpai dalam mimpi tersebut tiada lain adalah Syaikh Al-’alamah Imam Abu Zakariya Yahya ibnu Imam Mu’thie, ulama yang telah terlebih dahulu mengarang alfiyah.
Setelah bermimpi seperti itu, Syeikh Ibnu Malik terbangun, dan dapat mengingat kembali karangan Al-fiyahnya seperti sedia kala. Lantas Ibnu Malik introspeksi dan memohon permintaan maaf  atas kemasgulan karangannya serta kekhilafannya, kurang tawadhu dan telah su’ul adab kepada Imam Ibnu Mu’thie dengan menyampaikan bait 6 berikut :
Bait 6 :

وَهْوَ بِسَبْقٍ حَائِزٌ تَفْضِيْلاً  #  مُسْـتَوْجِبٌ ثَنَائِيَ الْجَمِيْلاَ

Dan sebab lebih dulu sebetulnya beliaulah yang berhaq memperoleh keutamaan # dan  mewajibkan sanjungan indahku (untuknya).
Yang maksudnya, jadi karena Syeikh Ibnu Mu’thie sudah terlebih dahulu dalam zamannya, maka lebih utama mendapat  keunggulan, serta layak jika Ibnu Malik mengakui dan memberikan sanjungan keutamaan kepada kitab karangan Ibnu Mu’thie serta pribadinya. Adapun Ibnu Mu’thie, lahir tahun 564 H, wafat tahun 628 H (Berusia 64 tahun).
Sebagaimana ada ungkapan bahwa ; “Al-fadhlu lil mutaqoddimiena”. (Adapun keutamaan itu, tetap kepada rupa2 orang yang terdahulu). Seperti Imam dengan Ma’mum, Mubtada dengan Khobar, Jar dengan Majrur, Orang tua dengan Anak, dsb. Lantas Ibnu Malik berdo’a kepada Alloh SWT. dengan bait 7 berikut :
Bait 7 :

وَاللهُ يَقْضِي بِهِبَـاتٍ وَافِرَهْ #  لِي وَلَهُ فِي دَرَجَاتِ الآخِرَهْ

Semoga Allah menetapkan pemberian-pemberian yang sempurna # untuku dan untuknya didalam derajat-derajat akhirat.
Tanbih : Lafad “Wallohu yaqdhie” umpama menurut ilmu ma’ani termasuk kepada lafad khobar, maknanya du’a. Adapun yang dimaksudnya adalah ; “bi hibbati wafiroh”, yaitu “Tsubuutul iman wal islam” (Tetapnya iman dan islam).
I’lam : Tapi menurut sebagian ulama, bait ini kurang tepat, yang bagusnya adalah : “Wallohu yaqdhie bir-ridlo’a warrohmah # Lie wa lahu wa li jamie-iel ummah”. Wallohu a’lam. *** (Iqbal1).

Tidak ada komentar:

Posting Komentar