Ilmu Nahwu

Rabu, 15 Juni 2011

kontribusi sibawaihi

KONTRIBUSI SIBAWAEHI
DALAM PENGEMBANGAN BAHASA ARAB
Oleh: Muhsin
  1. A. Biografi
Nama lengkapnya Abu Basyar Amr bin Utsman bin Qanbar. ‘Sibawaehi” sendiri sebenarnya adalah julukan, tetapi julukan ini lebih dikenal daripada nama aslinya sendiri. Julukan ini dipandang unik, karena belum ada orang yang mendapat julukan yang sama sebelumnya. “Sibawaehi” berasal dari bahasa Persia, sekaligus menunjukkan bahwa ia adalah orang Persia, (sib = buah apel; waih = wangi) yang berarti wangi nya buah apel”. Adapula yang mengatakan karena kedua pipinya bagai dua buah apel
Beliau diperkirakan lahir tahun 137 H di Ahwaz (Persia), ada pula yang mengatakan bahwa ia dilahirkan di sebuah kampung Syiraz yang bernama al-Baidha’, (Persia). Beliau wafat pada usia belia pada tahun  177 H. sekitar 40 tahun. Pada usia muda ia sudah rajin mengunjungi pengajian dalam bidang fikih dan hadits. Dalam ilmu hadis  berguru kepada Hammad bin Salamah bin Dinar al-Basri (w. 167 H), seorang ahli hadis terkenal pada masanya, yang juga mendalami ilmu nahwu (gramatika) dan saraf (morfologi) serta pernah menduduki jabatan mufti kola Basra.
Ketika belajar hadis kepada Hammad, Sibawaehi memprotes gurunya tentang bacaan suatu matan hadits dari segi nahwu, namun ternyata justru Sibawaehilah yang salah. Dan tampaknya inilah awal yang memicu Sibawaih untuk mendalami bahasa Arab. Ia belajar bahasa Arab kepada beberapa orang ahli, seperti Isa bin Amr al-S|aqafi al-Bas}ri (ahli nahwu, saraf dan qira’ah, w. 149 H), al-Akhfasy al-Kabir (ahli bahasa Arab), Yunus bin Habib al-Bas}ri (ahli nahwu yang mengajar beberapa halaqah, w. 177 H), Harun in Musa al-Basri (ahli qira’ah, w. 170 H), Abu Amr al-Ala’ (ahli qira’ah, w. 154 H), dan al-Khalil bin Ahmad al- Tamim al-Farahidi (Ahli bahasa Arab dan nahwu yang paling terkenal di Basra ketika itu, VV. 175 H). Pada al-Khalil inilah Sibawaehi paling lama dan serius belajar bahasa Arab  karena itu, dapat dikatakan bahwa Sibawaehi  mewarisi seluruh ilmu gurunya ini, terutama dalam nahwu dan saraf. Hubungan antara guru dan menjadi demikian akrab, bahkan dalam perkembangan lebih lanjut mereka berdua bekerja sama dalam pengembangan bahasa Arab, dan bersama gurunya  ia menciptakan al-’arud (metrik).
Popularitas Sibawaehi sebagai seorang linguist mulai terdengar dimana-mana hingga suatu ketika ia diundang ke Bagdad untuk sebuah debat terbuka. Debat terbuka yang dihadiri Khalifah ketika itu, ternyata telah didesain sedemikian rupa untuk menjatuhkan karir Sibawaih. Di hadapan audiens dan para pakar bahasa, Sibawaehi yang mewakili mazhab Bashrah kalah berdebat dengan al-Kisai yang mewakili mazhab Kufah. Al-Kisai mengajukan pertanyaan yang sulit kepada Sibawaih kemudian yang dijadikan sebagai “dewan hakim” adalah para supporter al-Kisai sendiri. Akhir cerita Sibawaehi dinyatakan salah meskipun belakangan para pakar nahwu menganggap Sibawaehi yang benar.  Konon peristiwa ini sangat memukul Sibawaehi dan membuat dia sakit dan akhirnya meninggal dunia dalam usia muda.
  1. B. Karya Sibawaehi
Sibawaehi hanya meninggalkan sebuah buku besar yang menghimpun kaidah dan dasar-dasar bahasa Arab. Buku ini merupakan khazanah ilmu bahasa Arab yang tiada tandingannya, baik sebelum maupun sesudahnya. Oleh karena itu, buku ini masih terus dipelajari penuntut ilmu bahasa Arab sampai sekarang. Akan tetapi, karya ini tidak berjudul, tidak pula didahului dengan “pendahuluan” dan diakhiri dengan “penutup”. Bahkan pada akhir buku itu ada kesan bahwa penulis masih berusaha menambahnya. Diduga, ia wafat (sebelum sempat merampungkan karyanya. Oleh karena itu, para ilmuwan sesudahnya hanya memberi nama al-Kitab (kitab) atau kitab Sibawaehi kepada buku itu.
Kitab Sibawaehi dikarang ketika asimilasi antara bangsa Arab dan non-Arab sudah lama berlangsung. Asimilasi itu sangat berpengaruh di dalam kehidupan masyarakat, termasuk dalam bahasa. Padahal bahasa Arab ketika itu masih baru berkembang, kaidahnya belum tersusun. Dalam bidang bahasa, orang hanya merujuk kepada riwayat, pendengaran, dan kebiasaan bertutur orang Arab. Akibatnya sering terjadi kekeliruan dalam bacaan, termasuk dalam bacaan Al-Qur’an dan hadis. Waktu itu, ilmu nahwu memang sudah lahir, sejak Ali bin Abi Thalib memerintahkan Abu al-Aswad ad-Du’ali untuk menyusun ilmu nahwu buat pertama kali, Akan tetapi perkembangannya sampai masa Sibawaehi belum sempurna.
Munculnya buku Sibawaehi itu menandai era baru dalam bahasa Arab. Karya itu memberi tanda-tanda baru sehingga orang dapat menggunakannya dengan benar dan seragam. Di tangan Sibawaehi ilmu nahwu berkembang menjadi matang. Buku yang terutama berkenaan dengan ilmu nahwu, ilmu sharaf, dan gaya bahasa serta kosakata Arab ini diangkat dari penelitian yang  serius dan didukung oleh 1.050 kutipan, baik dalam bentuk syair maupun prosa. Beliau juga banyak mengutip ayat Alqur’an sementara hadits kurang mendapat tempat.
Demikian tingginya nilai karya tersebut, sehingga seluruh ahli ilmu nahwu sesudahnya masih merujuk dan berpedoman kepada karya itu. Bahkan, para ahli nahwu generasi berikutnya banyak yang menyusun buku dengan maksud memudahkan para penuntut ilmu dalam memahami karya tersebut. Mereka menyusun buku yang menerangkan dan menafsirkan kitab itu serta memberi catatan-catatan penting bagi bait-bait syair yang terdapat di dalamnya.
Para ahli nahwu yang datang sesudahnya menjuluki Sibawaehi sebagai Imam  min A’immah an-nuhat (salah seorang penghulu dalam ilmu nahwu). Saking berharganya buku ini sampai Al-Mazani berkata “Barangsiapa yang ingin menyusun  buku nahwu setelah Sibawaehi maka hendaklah ia malu”. Sementara al-Mubarrad berkata “Belum pernah ada orang yang menyusun kitab nahwu seperti yang dilakukan Sibawaehi”
  1. C. Kontribusi Sibawaehi dan Kitabnya
Sibawaehi memiliki jasa besar dalam melestarikan warisan bahasa Arab. Adapun posisinya dalam hal ini adalah:
  1. Mengkodifikasi pendapat para ulama terdahulu demikian pula riwayat-riwayat tentang bahasa Arab dalam kitabnya
  2. Bukan saja kodifikator tetapi beliau juga memiliki pendapat pribadi
    1. Berkolaborasi dengan ulama terdahulu dalam menyusun bahasa Arab
Jerih payahnya ini telah menghasilkan sebuah karya monumental yang bernama al-Kitab, yang telah menggabungkan pendapatnya dengan pendapat ulama terdahulu dan menjelaskan masalah-masalah yang masih kabur dalam nahwu serta memberinya uraian.
  1. D. Sistimatika Penulisan al-Kitab
Kebanyakan para penulis menjelaskan metode yang dia gunakan dalam menyusun bukunya pada awal bab, namun hal ini tidak terjadi dalam kitab Sibawaehi. Beliau tidak menjelaskan metode dan teknik apa yang dia gunakan dalam menulis. Oleh karena dianggap tidak sistematis sehingga sebagian orang menganggap bahwa Sibawaehi tidak mengerti metode penulisan. Dia hanya memaparkan bahasannya begitu saja tanpa ada korelasi antara satu materi dengan materi berikutnya.
Sebagian ulama lagi menganggap bahwa Sibawaehi menempuh metode yang natural berdasarkan intuisinya. Beliau mempelajari uslub ujaran pada nas-nas yang ada kemudian memberinya penilaian apakah ujaran tersebut benar atau salah, indah atau jelek. Sibawaehi juga membuat peristilahan dan klasifikasi seperti yang terlihat dalam bukunya yang disusun pada masa aktifitas filsafat dan ilmu pengetahuan sedang berkembang.
Sibawaehi memulai bukunya dengan tujuh bab pendahuluan, kemudian dia mengulas masalah kalimat dan pembentukannya. Setelah itu beliau berbicara tentang nahwu, kata turunan, morfologi dan menutup bukunya dengan pembahasan tentang fonologi bahasa Arab.
Berikut ini karakteristik kitab Sibawaehi
  1. Pendahuluan yang tujuh
    1. Bab tentang leksikologi yang mencakup pembagian kata: artikel (harf), kata benda (ism) dan kata kerja (kata kerja)
    2. Bab posisi akhir kata dalam bahasa Arab, disini beliau memaparkan tanda-tanda i’rab dan bina
    3. Bab tentang musnad dan musnad ilaeh, dalam hal ini ia memberikan contoh dengan kalimat nominal (jumlah ismiyah) dan kalimat verbal (jumlah fi’liyah).
    4. Bab antara lafal dan makna, disini beliau menyebut tiga bagian:
1)     Perbedaan 2 lafal karena perbedaan makna, contoh جلس dan ذهب  
2)     Dua lafal yang berbeda namun maknanya satu atau sama (sinonim) contoh, ذهب  dan إنطلق  
3)     Dua lafal yang sama namun maknanya berbeda (homonim)  contoh, وجدت عليه من الموجدة dan وجدت إذا أردت وجدان الضّالة
  1. Bab tentang penyimpangan lafal. Misalnya kata يدع  dalam bentuk fi’il mudhari masih digunakan, berbeda dengan bentuk fi’il madhi-nya yang di ganti dengan kata ترك  . Demikian pula bentuk jamak dari kata زنديق  adalah زناديق  , namun yang banyak digunakan adalah زنادقة
  2. Kalimat yang mungkin dan yang mustahil. Disini beliau membaginya dalam 4 kategori
1)     Runtut dan indah misalnya, أتيتك أمس وسآتيك غداً، وسآتيك أمس
2)     Runtut namun bohong misalnya,  حملت الجبل، وشربت ماء البحر
3)     Runtut namun jelek misalnya,   قد زيداً رأيت، وكي زيداً يأتيك
4)     Mustahil dan bohong misalnya,  سوف أشرب ماء البحر أمس
  1. Bab yang mengandung syair, disini Sibawaehi berbicara tentang d{arurat al-syi’r
  2. Sintaksis
Sibawaehi menjelaskan fungsi kata dalam kalimat berdasarkan contoh bahasa baku (fusha). Setelah beliau berbicara tentang pendahuluan yang tujuh, beliau mulai membahas kalimat verbal yang kata kerjanya intransitif dan transitif, disusul kemudian kalimat nominal pada bab ibtida’ dengan mengemukakan nawasikh-nya
Berikut beberapa pandangan Sibawaehi tentang Nahwu
-         Amil adalah yang menimbulkan perubahan pada akhir kata (i’rab) dan tandanya adalah rafa’, nasab, jar dan sukun
-         Terkadang huruf jar dibuang sehingga membentuk maf’ul bi naz’I al-hafidh
-         Kata kerja transitif yang membutuhkan 2 obyek jika dijadikan dalam bentuk pasif (majhul) maka obyek yang pertama menjadi naib al-fail (pengganti pelaku) misalnya كسي عبدُ الله الثوب
-         Perbedaan antara hal (keterangan kata kerja) dengan maf’ul adalah bahwa hal merupakan sifat dari maf’ul
-         Kana wa akhwatuha kadang naqisah (membutuhkan predikat) dan kadang tammah (fungsinya sama dengan kata kerja biasa) misalnya كان الأمر أى وقع   dan أصبح محمد أى دخل فى الصباح
-         Ma al-nafiyah (ما النافية) memiliki fungsi seperti fungsi laesa (ليس) misalnya ما أنا بشرا demikian pula kata لات  hanya saja fungsinya terbatas pada kata حين  misalnya لات حين مناص  
-         Masdar (verbal noun) dapat berfungsi seperti kata kerjanya misalnya ضربا زيدا   artinya إضرب زيدا  
-         Ism fail dapat berfungsi sebagai fi’l mudari yang menunjukkan waktu yang akan datang misalnya هذا ضارب زيدا غدا     
-         Bukan ya’ (يا) yang menjadi amil dalam al-munada tetapi kata yang terbuang misalnya يا عبدَ الله , amilnya terbuang yaitu أدع عبدَ الله
-         Kalimat لولا apabila diikuti oleh dhamir (kata ganti) seperti لولاك maka ia berfungsi seperti harf jar dan kata yang terletak sesudahnya menempati posisi majrur
-         Amil kadang-kadang dibuang seperti yang terjadi dalam al-isytigal misalnya زيدا كلمته  , زيدا مررت به  dan زيدا قرأت كتابه .Kata زيدا  disini menempati posisi obyek dari kata yang terbuang yang ditafsirkan dari kata kerja yang terletak sesudahnya.
  1. Derivasi
Bentuk-bentuk yang lazim didengar oleh bangsa Arab baik yang analogis maupun yang tidak. Menurut Sibawaehi kata kerja terambil dari masdar dan bukan sebaliknya. Atau dengan kata lain masdar adalah induk sementara kata kerja adalah turunan. Sementara menurut ulama Kufah mashdar diturunkan dari kata kerja. Terobosan Sibawaehi adalah sebuah analisis yang mendalam karena mashdar pada dasarnya mengandung arti peristiwa dan waktu peristiwa tersebut berlangsung sehingga terkait dengan waktu  lampau, sekarang dan akan datang. Diantara obyek derivasi adalah al-tashgir, al-nasab, bab al-waqf dan al-imalah.
  1. Morfologi
Morfologi bertujuan untuk mengaplikasikan kaedah-kaedah idgam dan i’lal, dan menjelaskan mengapa orang Arab tidak menggunakan suatu bentuk tertentu yang dianggap sulit untuk diucapkan. Morfologi membutuhkan beberapa hal:
1)     Pengetahuan terhadap bentuk-bentuk kata yang dapat diukur untuk dijadikan patokan.
2)     Pengetahuan terhadap kaedah-kaedah  idgam dan i’lal
3)     Sisi aplikasi
Sibawaehi menempuh metode dalam morfologi dengan menjelaskan bentuk-bentuk bahasa Arab yang ada untuk dijadikan patokan. Setelah selesai membahas bentuk-bentuk yang biasa didengar, ia menjelaskan idgam dan i’lal . selanjutnya beliau mengemukakan contoh tasrif yang mencapai 49 bentuk.
  1. Fonologi
Materi ini dibahas dalam bab idgam . Menurut Sibawaehi huruf arab berjumlah 29 dan kadang-kadang mencapai 35 jika didasarkan pada bacaan Al-Qur’an dan syair, dan kadang berjumlah 45 huruf jika didasarkan pada huruf yang jarang digunakan oleh orang Arab. Adapun tempat keluarnya huruf berjumlah 16 tempat.
  1. E. Paradigma Sibawaehi dalam menyusun bukunya
Sibawaehi mendasarkan penyusunan kaidah-kaidah tata bahasa Arab dengan tiga macam metode, yaitu dengan mendengar (sima’), membuat alasan (ta’lil), dan membuat analogi (qiyas).
Metode yang pertama, sima’, beliau lakukan dengan jalan mendengarkan secara langsung perkataan ahli Qur’an atau Qurra’, dan penduduk pedalaman yang bisa dipercaya kefasihannya. Dalam kitabnya Sibawaehi sering mengatakan
  • سمعنا بعض العرب يقول
  • سمعنا العرب تنشد هذا الشعر
  • سمعنا من العرب
  • كثير في جميع لغات العرب
  • عربي كثير
  • عربي جيد
  • قد سمعناهم
  • قال قوم من العرب ترضى عربيتهم
  • سمعنا من العرب من يوثق بعربيته
Beliau banyak menggunakan puisi-puisi Badui dan perkataan mereka untuk kemudian menyusun teori atau kaidah secara induktif. Dalam hal ini, Sibawaehi tidak mengindahkan para periwayat hadits karena kebanyakan dari mereka adalah orang-orang non-Arab.
Metode yang kedua, yaitu ta’lil, menyatakan adanya penyebab (‘illah) dalam i’rab. Sibawaehi dalam kitabnya sangat sering menggunakan ta’lil. Hampir seluruh masalah dia ta’lil baik yang sejalan dengan kaedah maupun yang menyimpang bahkan sampai pada masalah yang tidak ada dalam kenyataanpun dia ta’lil. Misalnya tentang fi’l mudari’, Sibawaehi bukan saja mempertanyakan mengapa fi’l mudari di-rafanasab dan jazm tetapi juga menta’lil mengapa tidak di-jar.
Metode yang ketiga, yaitu qiyas, yaitu membuat ukuran atau kaidah dari perkataan orang Arab kemudian menerapkannya dalam kasus yang lainnya. Seperti halnya ta’lil beliau juga sangat sering menggunakan qiyas. Hal ini adalah sesuatu yang wajar karena landasan utama penyusunan kaedah nahwu dan sharaf adalah qiyas. Misalnya dalam nahwu dia menganalogikan ism fa’il, ism maf’ul, dan bentuk mubalagah (hiperbola) dengan fi’l mudari. Sementara dalam saraf, semua materinya analogis. Dari konsep qiyas ini kemudian muncul istilah syaz bagi perkataan yang tidak sesuai dengan ukuran atau kaidah qiyas. Syaz dapat pula terjadi pada bacaan al-Qura’an atau qira’ah sehingga Sibawaehi banyak menolak qira’ah yang ia anggap syaz.
Melihat metode yang digunakan oleh Sibawaehi dapat dipastikan bahwa dia lebih cenderung menggunakan metode diakronis -sebuah metode yang menelusuri bahasa secara historis-, ketimbang menggunakan metode sinkronis yang meneliti bahasa pada waktu tertentu saja. Atau sering pula diistilahkan dengan metode preskriptif (mi’yari) dimana Sibawaehi selalu memakai ukuran sebelum meneliti ketimbang deskriptif (washfi) yang meneliti bahasa apa adanya.
Bahan Bacaan
E. Bosworth dkk, The Encyclopaedia Of Islam, Vol IX (Leiden:Brill, 1997)
Suplemen Ensiklopedia Islam 2, (Jakarta: Pt. Ikhtiar Baru Van Hoeve)
Abu Bakr  Muhammad Ibn Sarraj al-Nahwi, al-Ushul Fi al-Nahw, (Maktabah Misykat)
Sibawaehi, al-Kitab, (al-Maktabah al-Syamilah Versi 2)
Abu Said al-Sirafi, Syarh Kitab Sibawaehi, (Mesir: Daral-Ma’arif)
Ahmad Al-Iskandari, Al-Wasith fi al-Adab al-‘Arabi wa Tarikhuhu, (Mesir: Dar al-Ma’arif, 1916)
Syauqi DHaif, Al-Madaris An-Nahwiyyah, (Mesir: Dar al-Ma’arif, 1976)
Al-Syaekh Ahmad al-Thanthawi, Nasy’at al-Nahw Tarikh wa Asyhur al-Nuhat (Mesir: Daral-Ma’arif)
Lutz Edzard, Sībawayhi’s Observations On Assimilatory Processes And Re-syllabification In The Light Of Optimality Theory
Internet

Perkembangan Semantik Bahasa Arab

26 April 2009 at 03:02 (Bahasa dan Sastra Arab) (, )

Perkembangan Semantik Bahasa Arab
Kata semantik berasal dari bahasa Yunani ‘sema’ (kata benda) yang berarti ‘tanda’ atau ‘lambang’. Akar kata sema adalah ‘s’ dan ‘m’ sangat mirip dengan kata سمة dari kata (و) سم yang juga berarti tanda yang akar katanya adalah س (و) dan م . Kata kerja sema adalah ‘semaino’ yang berarti ‘menandai’atau ‘melambangkan’. Tanda atau lambang yang dimaksud disini adalah tanda-tanda linguistik. Padananya dalam bahasa Arab adalah ilmu al-dilalah yang berasal dari kata دل- يدل- دلالة yang berati ‘menunjukkan’ seperti dalam Alquran هل أدلكم علي تجارة
Bahasa diibaratkan mahluk hidup karena dia hidup di lidah para penuturnya. Bahasa mengalami perkembangan dan perubahan seiring dengan perkembangan jaman sebagaimana halnya manusia. Bahasa adalah fenomena sosial yang hidup di tengah masyarakat. Dia ikut berkembang jika masyarakat berkembang dan mundur ketika masyarakat itu mundur.
Perkembangan semantik adalah salah satu bentuk perkembangan bahasa yang obyeknya adalah kata dan arti kata. Arti sebuah kata sebenarnya tid\ak permanen tetapi mengalami perubahan yang terus menerus dan tak seorangpun yang mampu mengahalangi perubahan itu. Ini dapat dibuktikan dengan melihat kamus, dimana sebuah kata dapat mengalami perubahan makna setiap saat.
Perubahan makna terjadi jika relasi antara lafal dan arti yang ditunjuk oleh lafal tersebut berubah. Hal ini terjadi dalam 2 bentuk:
1. Apabila ditambahkan makna baru kepada kata yang lama
2. Apabila kata baru ditambahkan kepada makna yang lama
Penyebab terjadinya perubahan ini dapat bersifat eksternal dan internal. Penyebab eksternal berupa perkembangan sosial dan peradaban, sementara yang bersifat internal adalah karena pemakaian bahasa itu sendiri. Bahasa diadakan agar manusia dapat berkomunikasi satu sama lain dengan cara bertukar lafal seperti halnya mempertukarkan uang dengan barang. Hanya saja pertukaran bahasa ini melalui akal dan perasaan dan ini bisa berbeda untuk setiap person dan lingkungan. Ketika generasi berikutnya mewarisi suatu makna maka sesungguhnya di tidak lagi mewarisi makna yang sama dengan generasi sebelumnya tetapi telah mengalami beberapa penyimpangan.
Kadang kadang pula terjadinya penambahan makna baru terhadap kata yang lama karena salah mengerti, dan kadang juga sebuah lafal diganti dengan lafal lain sehingga menjadi kurang jelas. Misalnya lafal-lafal yang berhubungan dengan kebutuhan sehari-hari dan lafal- lafal yang berhubungan dengan hal-hal yang kotor. Contohnya dalam al-Qur’an adalah kata الغائط yang berarti tempat yang rendah, namun dalam al-Quran diartikan dengan membuang hajat sebagai bentuk kinayah. Penyebab lain yang bersifat internal adalah kedekatan makna dengan lafal tertentu dalam sebuah konteks. Misalnya kata فشل yang dahulu bermakna “takut dan lemah” seperti yang diungkapkan dalam al-Qur’an فلا تنازعو فتفشلوا sekarang berarti “gagal”.
Abu Hatim al-Razi sebagai perintis perkembangan semantik, telah mengumpulkan beberapa kata yang mengalami perkembangan semantik. Menurutnya perkembangan semantik mengambil beberapa bentuk yaitu:
1. Makna lama yang diwariskan
2. Lafal lama yang diberi makna baru setelah datangnya Islam baik dalam bentuk perluasan makna, penyempitan maupun pergeseran makna.
3. Lafal yang sama sekali baru baik dari segi bangun katanya maupun maknanya yang tidak dikenal oleh orang Arab sebelumnya.
4. Lafal baru yang diserap dari bahasa asing
Sementara al-Khawarizmi melihat bahwa lafal terbagi kepada lapal Arab baru yang diciptakan dan lafal asing yang diarabkan. Sedangkan Abu Hilal al-Askari membaginya kepada ism urfi (makna berdasarkan kebiasaan pemakainya) dan ism syar’i (makna baru yang lahir dengan datangnya Islam)
Namun fenomena terpenting dari masalah perkembangan sematik berputar dalam 3 hal yaitu:
1. Takhsis makna
2. Ta’mim makna
3. Pergeseran makna
1. Takhsis makna
Yaitu membatasi makna lafal umum terhadap makna tertentu saja, dengan demikian makna kata tersebut cakupannya telah berkurang dari makna yang sebelumnya. Contoh makna lafal yang menyempit kata حريم yang berarti sesuatu yang tidak boleh disentuh, kini artinya menyempit untuk perempuan saja. Kata الصحابة yang berarti teman dalam arti luas kini menyempit dan menjadi sahabat nabi saja, kata التوبة yang berarti “kembali” kemudian menjadi kembali dari dosa, kata الحج yang berarti bermaksud menjadi bermaksud ke baetullah.
2. Ta’mim Makna
Hal ini terjadi ketika adanya pergeseran dari makna khusus menjadi makna umum. Misalnya kata لوح yang dulunya berarti sejenis benda yang digunakan untuk menulisi kemudian meluas artinya menjadi pelat, bangun perahu, papan dan orang besar tulang tangan dan kakinya. Kata البأس yang dulunya berarti kesusahan dalam perang meluas menjadi kesusahan dalam segala hal, kata العقيقة yang berarti rambut bayi yang tumbuh sejak dalam kandungan meluas menjadi binatang yang disembelih ketika rambut bayi dipotong, kata المجد yang berarti penuhnya perut binatang karena makanan meluas menjadi dipenuhi kemulian.
3. Pergeseran Makna
Pergeseran lafal dari cakupan pemakaian yang biasa ke cakupan yang lain. Pergeseran ini terjadi dalam dua hal:
1. Pergeseran makna karena relasi kemiripan (الإستعارة)
2. Pergeseran makna karena relasi ketidakmiripan (المجاز المرسل)
1. Istiarah
Istiarah dalam ilmu balagah terjadi jika salah satu dari unsur tasybih –musyabbah dan musyabah bih– dibuang demikian pula adat al-tasybih. Penggunaan istiarah banyak digunakan pada kata-kata yang bergeser maknanya karena adanya kemiripan. Misalnya kata ثعبان yang berasal dari kata ثعب yang berarti mengalir bergeser menjadi “ular” karena kemiripan antar air yang mengalir dan ular yang berjalan. Anggota tubuh manusia merupakan obyek istiarah yang banyak digunakan baik dalam bahasa Arab maupun Indonesia. Sebagai contoh أسنان المشط, سن االقلم, عين الحقيقة, رأس الشارع, ظهر الأرض, رجل الكرسي dan lain-lain. Demikian pula anggota tubuh binatang misalnya, ذيل الفستان, ذيل الصفحة, جناح الطائرة .Kemudian dalam tumbuh-tumbuhan misalnya, شجرة النسب, فرع العائلة, ثمرة البحث . Contoh lain adalah تحية عاطرة, إستقبال بارد, صوت حلو
Istiarah sering pula digunakan pada pemakaian kata konkrit terhadap makna yang abstrak seperti, جسم المسكلة, عقد المسألة, ركز الفكرة . Menurut Ibnu Faris pemakaian istiarah merupakan tradisi orang arab dalam berbicara. Hal inipun banyak dilakukan orang arab ketika menggubah syair maupun prosa, dan dalam keadaan demikianlah Alqur’an diturunkan.
2. Al-majaz al-mursal
Al-majaz al-mursal adalah pergeseran makna yang bukan disebabkan karena adanya kemiripan makna tapi justru tidak ada kemiripan sama sekali antara makna asli dengan makna barunya. Ini berbeda dengan takhsis dan ta’mim makna yang melahirkan penyempitan dan perluasan makna, sementara dalam al-majaz al-mursal hal itu tidak terjadi karena makna yang lama dan makna yang baru, cakupannya sama atau sekelas.
Pergeseran makna dalam al-majaz al-mursal disebabkan karena adanya beberapa relasi yaitu: al-sababiyah, al-kulliyah, al-juz’iyah, al-halliyah, al-mahalliyah, al-mujawarah, al-umum, al-khusus, dan i’tibar ma kana. Contoh al-sababiyah (menyebutkan akibat tapi yang dimaksud adalah penyebabnya) dalam Alqur’an قد أنزلنا عليكم لياسا kata لباسا (pakaian) tidak mungkin turun dari langit, tapi yang dimaksud adalah hujan sebagai penyebabnya. Contoh al-kulliyah (menyebutkan keseluruhan tapi yang dimaksud adalah sebahagian) dalam Alqur’an فاغسلوا وجوهكم و أيديكم kata أيدكم jamak يد artinya tangan sampai bahu tapi yang dimaksud di sini adalah tangan sampai siku.
Pergeseran makna terjadi pula dalam 2 hal lain sebagai berikut:
1. Pergeseran dari makna kongkrit ke makna abstrak
2. Pergeseran dari makna abstrak ke makna kongrit
Pertama, pergeseran dari makna konkrit ke makna abstrak sejalan dengan dengan perkembangan akal manusia. Jika pemikiran rasional berkembang maka kebutuhan kepada makna yang abstrak juga akan meningkat. Pergeseran ini juga dapat dinamakan majaz hanya saja bukan majaz sebagai bagian balagha. Jika dalam balaghah majaz di maksudkan untuk dapat mempengaruhi perasaan maka majaz disini semata-mata hanya dimaksudkan agar dapat membantu manusiai mengungkap hal-hal yang abstrak.
Sebagai contoh kata غفر yang arti asalnya adalah menutup sesuatu yang tampak kemudian dalam Islam berkembang menjadi pengampunan atau menutupi dosa. Demikian pula kata زكي yang arti dasarnya adalah berkembang dan bertambah, kemudian dalam Islam berubah menjadi penyucian jiwa. Kata نبط yang pada mulanya berati mengeluarkan air dari sumur kemudian muncul kata إستنباط yang sering dipergunakan dalam istilah ushul fikhi. Demikian pula kata النفق yang berarti fatamorgana kemudian berkembang dan memunculkan kata منافق .
Kedua; pergeseran dari makna abstrak ke makna kongkrit. Pergeseran jenis kedua ini seringkali dimaksudkan untuk memperjelas konsep yang bersifat abstrak sehingga seakan akan dapat diraba, dicium, didengar, dilihat dan rasakan. Jenis ini banyak digunakan dalam bahasa sastra sehingga kata-kata sabar, dengki dan cita-cita jika disampaikan dengan bahasa sastra maka seakan-akan obyek abstrak tersebut dapat terlihat. Misalnya kata الكرم diungkapkan dengan kata كثرة الرماد
Bahan bacaan
Abd al-Karim Mummad Hasan, Fi Ilm al-Dilalah, (Dar al-Ma’rifat al-Jami’iyah)
Abd al-Qahir al-Jurjani, Asrar al-Balagah, (Maktabah Syamilah, Versi 2)
Abd Rahman Bin Abi Bakr, al-Muzhar, (Maktabah Syamilah, Versi 2)
Abu al-Fath Ibn Jinni, al-Khasais, (Maktabah Syamilah, Versi 2)
Abu Hatim Ahmad Bin Hamdan al-Razi, Kitab al-Zinah fi al-Kalimat al-Islamiyat al-Arabiyah, (Shan’a, Markaz al-Dirasat wa al-Buhus} al-Yamani)
Abu Qasim al-Zumakhsyari, Asas al-Balagah, (Maktabah Syamilah, Versi 2)
Abu Ubaedah, Majaz al-Qur’an, (Maktabah Syamilah, Versi 2)
Fayz al-Daya, Ilm al-Dilalat al-Arabi, (Baerut, Dar al-Fikr al-Mua’shir)
Husain Hamid al-Salih, al-Tat}awwur al-Dilali fi Daw Ilm al-Hadits (Majallat al-Dirasat al-Ijtimaiyah, edisi IV, Januari-Juni 2003)
Ibn Faris Bin Zakariya, Maqayis al-Lughah, (Maktabah Syamilah, Versi 2)
Manqur Abd al-Jalil, Ilm al-Dilalah Ushuluh wa Mabahitsuh fi al-Turats al-Arabi, (Damaskus, Ittihad al-Kuttab al-Arabi)

Selasa, 14 Juni 2011

Rahasia bait awal Alfiyah

بسـم الله الرحمن الرحيم

Bait 5 :

وَتَقْتَضِي رِضَاً بِغَيْرِ سُخْطِ  #  فَـائِقَةً أَلْفِــــيَّةَ ابْنِ مُعْطِي

Maka ia menuntut keridhoan tanpa kemarahan (ketekunan dan kesabaran dalam mempelajarinya) # Ia telah mencakup Kitab Alfiyah karangan Ibnu Mu’thi (Imam Abu Zakariya Yahya putra Imam Mu’thie).
Qouluhu wa taqtadhie : Dalam bait 5 muqoddimah ini, Kyai Mushonnif  Syeikh Al-’alamah Imam Ibnu Malik menyampaikan pesan  khusus muatan kitab al-fiyahnya. Ia menuntut kepada keridloan ; dari Alloh SWT, pengarang dan dari yang mempelajarinya. Tekun dan sabar mempelajarinya dengan tidak disertai amarah. Alfiyah ini gaya bahasanya tidaklah sulit, mudah dicerna. Mampu mendekatkan pengertian yang jauh dalam ilmu nahwu dengan ungkapan yang ringkas. Kepadatan materinya dapat menjabarkan pengertian yang luas. Juga menyampaikan iklan bahwa karangan Al-fiyah kami (Kata Kyai Mushonif), sudah mencakup dan lebih unggul daripada alfiyah karangan Imam Ibnu Mu’thie.
Qouluhu Faiqotan : Bait ini disebutnya ‘Mutahharok’, -rubah ujung-, sebab asal lengkapnya, ‘faa ieqotan minha bi alfi baeti’.
Diceritakan bahwa setelah Kyai Mushonif selesai mengarang bait ini, mendadak semua karangan Al-fiyahnya hilang dari ingatan, mendadak menjadi lupa. Syahdan sampai 2 tahun lamanya, serta Kyai Mushonif sempat tidak sadarkan diri.
Dalam tidak sadarkan diri, syahdan Kyai Mushonif bermimpi jumpa dengan seseorang yang sudah sepuh. Kemudian orang tsb mengajukan pertanyaan kepada Kyai Mushonif :
“Bukankah engkau mengarang Al-fiyah, sudah sampai dimana ?”. Lantas orang tsb memberikan bait berikut,
“Wal hayyu qod yaghlibu alfa mayyiti”. (Dan adapun seorang yang hidup, terkadang dapat mengalahkan seribu orang yang telah meninggal).
Adapun orang yang dijumpai dalam mimpi tersebut tiada lain adalah Syaikh Al-’alamah Imam Abu Zakariya Yahya ibnu Imam Mu’thie, ulama yang telah terlebih dahulu mengarang alfiyah.
Setelah bermimpi seperti itu, Syeikh Ibnu Malik terbangun, dan dapat mengingat kembali karangan Al-fiyahnya seperti sedia kala. Lantas Ibnu Malik introspeksi dan memohon permintaan maaf  atas kemasgulan karangannya serta kekhilafannya, kurang tawadhu dan telah su’ul adab kepada Imam Ibnu Mu’thie dengan menyampaikan bait 6 berikut :
Bait 6 :

وَهْوَ بِسَبْقٍ حَائِزٌ تَفْضِيْلاً  #  مُسْـتَوْجِبٌ ثَنَائِيَ الْجَمِيْلاَ

Dan sebab lebih dulu sebetulnya beliaulah yang berhaq memperoleh keutamaan # dan  mewajibkan sanjungan indahku (untuknya).
Yang maksudnya, jadi karena Syeikh Ibnu Mu’thie sudah terlebih dahulu dalam zamannya, maka lebih utama mendapat  keunggulan, serta layak jika Ibnu Malik mengakui dan memberikan sanjungan keutamaan kepada kitab karangan Ibnu Mu’thie serta pribadinya. Adapun Ibnu Mu’thie, lahir tahun 564 H, wafat tahun 628 H (Berusia 64 tahun).
Sebagaimana ada ungkapan bahwa ; “Al-fadhlu lil mutaqoddimiena”. (Adapun keutamaan itu, tetap kepada rupa2 orang yang terdahulu). Seperti Imam dengan Ma’mum, Mubtada dengan Khobar, Jar dengan Majrur, Orang tua dengan Anak, dsb. Lantas Ibnu Malik berdo’a kepada Alloh SWT. dengan bait 7 berikut :
Bait 7 :

وَاللهُ يَقْضِي بِهِبَـاتٍ وَافِرَهْ #  لِي وَلَهُ فِي دَرَجَاتِ الآخِرَهْ

Semoga Allah menetapkan pemberian-pemberian yang sempurna # untuku dan untuknya didalam derajat-derajat akhirat.
Tanbih : Lafad “Wallohu yaqdhie” umpama menurut ilmu ma’ani termasuk kepada lafad khobar, maknanya du’a. Adapun yang dimaksudnya adalah ; “bi hibbati wafiroh”, yaitu “Tsubuutul iman wal islam” (Tetapnya iman dan islam).
I’lam : Tapi menurut sebagian ulama, bait ini kurang tepat, yang bagusnya adalah : “Wallohu yaqdhie bir-ridlo’a warrohmah # Lie wa lahu wa li jamie-iel ummah”. Wallohu a’lam. *** (Iqbal1).

Filsafat Ilmu Nahwu

Filsafat Ilmu Nahwu

Kitab-LamaDalam kitab “Al Kawakib Al Durriyah” diceritakan, Syeikh Imam Al-Sonhaji, pengarang sebuah kitab nahwu, tatkala telah rampung menulis sebuah buku tentang kaidah nahwu yang ditulisnya dengan menggunakan sebuah tinta, beliau mempunyai azam untuk meletakkan karyanya tersebut di dalam air. Dengan segala sifat kewara’annya dan ketawakkalannya yang tinggi, beliau berkata dalam dirinya : “Ya Allah jika saja karyaku ini akan bermanfaat, maka jadikanlah tinta yang aku pakai untuk menulis ini tidak luntur di dalam air”. Ajaib, ternyata tinta yang tertulis pada lembaran kertas tersebut tidak luntur. Dalam riwayat lain disebutkan, ketika beliau merampungkan karya tulisnya tersebut, beliau berazam akan menenggelamkan tulisannya tersebut dalam air mengalir, dan jika kitab itu terbawa arus air berarti karya itu kurang bermanfaat. Namun bila ia tahan terhadap arus air, maka berarti ia akan tetap bertahan dikaji orang dan bermanfaat. Sambil meletakkan kitab itu pada air mengalir, beliau berkata : “Juruu Miyaah, juruu miyaah” (mengalirlah wahai air!). Anehnya, setelah kitab itu diletakkan pada air mengalir, kitab yang baru ditulis itu tetap pada tempatnya.
Itulah kitab matan “Al-Jurumiyah” karya Imam Al Sonhaji yang masih dipelajari hingga kini. Sebuah kitab kecil dan ringkas namun padat yang berisi kaidah-kaidah ilmu nahwu dan menjadi kitab rujukan para pelajar pemula dalam mendalami ilmu nahwu (kaidah bahasa Arab) di berbagai dunia. Selain ringkas, kitab mungil ini juga mudah dihafal oleh para pelajar.
Di sini penulis tidak hendak mengemukakan kaidah ilmu nahwu dengan segala pembagiannya. Yang akan penulis kemukakan adalah, bahwa di dalam kitab yang melulu membahas tata bahasa Arab, ternyata kalau dikaji lebih dalam lagi, ia memiliki filsafat-filsafat hidup dan nasehat yang sangat berharga bagi setiap generasi terutama bagi kita sebagai ummat Islam. Filsafat hidup yang termaktub dalam kitab itu sendiri merupakan “hukum” atas suatu kalam atau kalimat dalam ilmu nahwu. Berikut ini adalah contohnya:
Bersatu Kita Terhormat
Dalam ilmu nahwu, “dhommah” adalah salah satu tanda dari tanda-tanda “rofa’”. Secara lafdziah kata dhommah berarti bersatu. Sedang kata rofa’ berarti tinggi. Maksudnya, bila kita dapat bersatu dengan sesama, dapat menjaga kesatuan dan persatuan, dapat mempererat tali ukhuwah, bukan tidak mungkin kita akan menjadi umat yang terhormat dan tinggi (rofa’) di antara bangsa dan umat lain.
Hal ini sesuai dengan firman Allah SWT :”Bersatulah kalian pada tali (agama) Allah, dan janganlah kalian berpecah belah” (Ali Imran: 103). Sementara untuk mendapatkan derajat tinggi harus memenuhi syarat, di antaranya adalah iman. Firman Allah SWT: “Janganlah kalian merasa hina dan sedih, padahal kamu tinggi jika kamu beriman (Ali Imran: 139).
Ada beberapa keriteria sehingga orang bisa mendapatkan derajat rofa’ (tinggi). Sebagaimana dijelaskan dalam Al Jurumiyah, bahwa di antara kedudukan kalimat yang mendapat hukum rofa’ atau marfu’ (yang diberi penghargaan tinggi) adalah: fa’il, naib fa’il, mubtada’, khobar dan tawabi’ marfu’(sesuatu yang mengikuti segala kalimat marfu’) seperti sifat (na’t), badal, taukid dan ‘atof. Hal ini dapat dijelaskan sebagai berikut:
1. Fa’il (aktivis). Bila kita ingin menjadi orang yang dihargai, tinggi dan tidak terhina, maka hendaklah kita berbuat, bekerja dan berusaha, tidak berpangku tangan atau hanya mengharap belas kasih orang lain. Hanya orang yang aktif dan pro aktiflah (fa’il) yang membuahkan karya-karya dan amal dan menjadi terhormat di lingkungannya. Firman Allah SWT: “Dan katakanlah (hai Muhammad) : Bekerjalah kalian! sesungguhnya pekerjaan kalian akan dilihat oleh Allah, RasulNya dan kaum mu’minin” (At Taubah : 105). Sabda Nabi Muhammad SAW: “ tangan di atas (pemberi) lebih baik dari tangan di bawah(peminta)”.
2. Naib fa’il (mewakili tugas-tugas aktivis) adalah tipe kedua orang yang mendapat derajat tinggi. Meskipun ia berkedudukan sebagai wakil, tapi ia menjalankan pekerjaan yang dilakukan fa’il walau harus menjadi penderita dalam kedudukannya sebagai kalimat. Sebagai contoh dalam hal ini adalah sahabat Ali ra. Beliau pernah menggantikan Rasulullah di tempat tidurnya dengan resiko yang tinggi berupa pembunuhan yang akan dilakukan para pemuda musyrikin Makkah saat Rasulullah berencana melaksanakan hijrah ke Madinah. Contoh lain adalah para huffadz yang diutus Rasulullah untuk mengajarkan agama atas permintaan salah satu suku di jazirah Arab, namun nasib mereka naas dikhianati dan dibunuh para pengundang. Mendengar hal itu, Rasulullah pun membacakan do’a qunut nazilah sebagi rasa ta’ziyah. Dengan do’a dari Rasul tersebut, tentu saja mereka yang wafat mendapat kedudukan mulia di sisi Allah, juga oleh sejarah.
3. Mubtada (pioneer), orang yang pertama melahirkan ide-ide positif kemudian diaplikasikannya di tengah-tengah masyarakat sehingga berguna bagi kehidupan manusia adalah orang yang pantas mendapat derajat rofa’ (tinggi). Oleh karena itu Rasulullah SAW bersabda: “ Barang siapa memulai sunnah hasanah (ide positif dan konstruktif) maka baginya pahala dan pahala orang yang melakukan ide (sunnah) tersebut”. Ada pepatah Arab mengatakan demikian:

الفضل للمبتدئ وان أحسن المقتدى

“Perhargaan itu hanyalah milik orang pertama memulai, walaupun orang yang datang kemudian dapat melakukannya lebih baik”
4. Khobar (informasi). Mereka yang memiliki khobar (informasi) itulah orang yang menguasai. Demikian salah satu ungkapan dalam ilmu komunikasi. Di dunia ini sebenarnya tidak ada orang yang lebih banyak ilmunya dari seorang lain. Yang ada adalah karena orang itu lebih banyak mendapatkan dan menyerap informasi dari lainnya. Membaca buku, apapun buku itu, sebenarnya kita sedang menyerap sebuah informasi. Dan sebanyak itu informasi yang kita dapatkan sebesar itu pula kadar maqam kita. Informasi dapat kita peroleh melalui berbagai cara, termasuk di dalamnya pengalaman.
5, Tawabi’ Marfu’ (Mereka yang mengikuti jejak langkah orang yang mendapat derajar tinggi). Jelas, siapa saja yang mengikuti langkah dan perjuangan mereka yang mendapat derajat tinggi, maka mereka akan dihargai. Allah berfirman: “Sungguh dalam diri Rasulullah ada suri tauladan yang patut ditiru bagimu”. Ayat ini menegaskan kepada kita untuk mengikuti Rasulullah yang telah mendapatkan maqoman mahmuda (kedudukan terpuji) di sisi Allah agar kita mendapat hal yang sama di sisiNya. Di samping itu, salah satu orang yang akan mendapat derajat tinggi adalah para penuntut ilmu. Firman Allah SWT : “Allah akan mengangkat orang-orang yang beriman di antara kamu dan mereka yang diberi ilmu dengan beberapa derajat” (Al Mujadalah: 11). Ilmu adalah warisan para nabi, dan siapa yang mengikuti (tabi’) langkah nabi ia akan mendapat kehormatan (rofa’)
Berpecah Belah Adalah Kerendahan
Tanda kasroh dalam ilmu nahwu adalah salah satu tanda hukum khofadh. Secara harfiah, kata kasroh bermakna pecah atau perpecahan. Sedangkan kata khofadh bermakna kerendahan atau kehinaan. Dengan demikian suatu umat akan mengalami kerendahan dan kehinaan apabila mereka melakukan perpecahan, tidak bersatu dan tidak berukhuwah. Wajar saja bila para musuh menyantap dengan lahapnya kekayaan kaum (muslimin) disebabkan mereka tidak mau bersatu dan menjaga persatuan. Inilah yang pernah dikhawatirkan oleh Nabi Muhammad SAW empat belas abad lalu, tatkala beliau menyatakan bahwa suatu saat umat Islam akan menjadi santapan umat lain seperti srigala sedang menyantap makanan. Para sahabat bertanya: “Apakah saat itu jumlah kita sedikit ?” Rasul menjawab: “Tidak, justru kalian saat itu menjadi mayoritas, tapi kualitas kalian seperti buih. Sungguh Allah akan mencabut rasa takut dari musush-musuh kalian kepada kalian dan Allah akan mencampakkan dalam diri kalian penyakit al-wahan”. Sahabat bertanya: “apakah penyakit al-wahan itu?” Rasul SAW menjawab: “cinta dunia dan takut mati”.
Dengan penyakit itulah, umat Islam mengalami perpecahan. Sebab yang diperjuangkan bukan lagi agama mereka, tetapi materi dan keduniaan yang pada akhirnya tidak lagi mengindahkan kekompakkan dan persatuan di antara sesama ummat Islam.
Di samping itu sifat buih, seberapa banyak dan sebesar apapun, ia akan terombang-ambing oleh angin yang meniupnya. Itulah tamsil umat Islam yang tidak memperkokoh persatuan.
Hal inilah yang diisyaratkan oleh Al-Sonhaji, bahwa penyebab segala isim (nama) menjadi makhfudh (rendah dan hina) adalah karena tunduk dan ikut-ikutan terhadap huruf khofad (faktor kerendahan). Atau dalam istilah nahwu lain, isim menjadi majrur (objek yang terseret-seret/mengikuti arus) karena disebabkan mengikuti huruf jar (faktor yang menyeret-nyeretnya) .
Karena itu, hendaknya ummat Islam selalu menjadi ikan hidup di tengah samudera. Meskipun air samudera terasa asin, namun sang ikan hidup tetap terasa tawar. Sebaliknya, jika ummat ini bagaikan ikan mati, maka ia dapat diperbuat apa saja sesuai keinginan orang lain. Bila diberi garam ia akan menjadi ikan asin dan lain sebagainya.
Berusahalah, Maka Jalan Akan Terbuka
Dalam kaidah ilmu nahwu, di antara tanda nashob adalah fathah. Secara lafdziah, kata nashob bermakna bekerja dan berpayah-payah. Sedang kata fathah bermakna terbuka. Dalam hal ini, maka mereka yang mau bekerja dan berupaya serta berpayah-payah (nashob) dalam usaha, maka mereka akan mendapatkan jalan yang terbuka (fathah). Sesulit apapun problem yang dihadapi, jika berusaha dan berpayah-payah untuk mengatasinya, maka insya Allah akan menemukan jalan keluarnya. Oleh karena itu Allah SWT berfirman: “Sesungguhnya Aku tidak akan menyia-nyiakan amal orang yang berbuat di antara kalian dari laki-laki dan wanita”. (Ali Imran: 195). Dalam Kitab Diwan As-Syafi’i. Imam Syafi’i pernah menulis bait syair sebagai berikut:

سافر تجد عوضا عمن تفارقه # وانصب فان لذيذ العيش فى النصب

اني رأيت وقوف الماء يفسده # ان سال طاب وان لم يجري لم يطب

Pergilah bermusafir, maka anda akan dapatkan pengganti orang yang anda tinggalkan ; Bersusah payahlah !, karena kenikmatan hidup ini didapat dengan bersusah payah (nashob).
Sungguh aku menyaksikan mandeg-nya air dapat merusakkan dirinya ; Namun bila ia mengalir ia menjadi baik. Dan jika menggenang ia jadi tidak baik.
Dalam bait syair ini, Imam Syafi’i ingin menegaskan, bahwa orang yang berpangku tangan dan tidak mau bekerja keras akan menjadi rusak, bagaikan rusaknya air yang tergenang sehingga menjadi comberan yang kotor dan bau. Sebaliknya, bila ia mau bersusah payah dan bergerak maka ia bagaikan air jernih yang mengalir. Indahnya kenikmatan hidup ini terletak pada bersusah payah.
Bahkan al-Quran mengisyaratkan kepada kita untuk tidak berpangku tangan di tengah waktu-waktu senggang kita. Bila usai melakukan satu pekerjaan, cepatlah melakukan hal lain. Firman Allah SWT:

فاذا فر غت فا نصب

“Dan jika kamu selesai (melakukan tugas), maka lakukanlah tugas lain (nashob)” (Al Insyiroh: 7).
Kepastian Akan Menimbulkan Rasa Tenang
Kaidah lain yang terdapat dalam ilmu nahwu adalah, bahwa di antara tanda jazm adalah sukun. Secara lafdziah, kata jazm bermakna kepastian. Sedang kata sukun berarti ketenangan. Ini mengajarkan kepada kita, bahwa kepastian (jazm) akan melahirkan rasa ketenangan (sukun). Orang yang tidak mendapatkan kepastian dalam suatu urusan biasanya akan merasakan kegelisahan. Sebagai contoh seorang remaja yang ingin melamar seorang gadis kemudian tidak mendapatkan kepastian, dia akan mengalami kegelisahan. Demikian juga orang yang hidupnya sendiri, ia tidak mendapatkan ketenangan. Oleh karena itu Allah SWT mengisyaratkan kita agar mempunyai teman pendamping dalam hidup ini agar mendapat ketenangan. Firman Allah SWT:

ومن آياته ان خلق لكم من أنفسكم أزواجا لتسكنوا اليها

“Dan di antara tanda-tanda kekuasaan Allah adalah Ia menjadikan bagimu pasangan dari jenismu (manusia) agar kalian merasa tenteram kepadanya” (Ar Rum: 21).
Wallahu’alam
*) H. Muhammad Jamhuri, Lc MA. Adalah Alumni Pondok Pesantren Daarul Rahman Angkatan 11 (th 1990), Kini tinggal di Kota Tangerang dengan amanah sebagai Ketua Sekolah Tinggi Agama Islam (STAI) Asy-Syukriyyah-Tangerang. Makalah ditulis di Makkah Al Mukarramah, Rabu 5 Sya’ban 1421H/1 Nopember 2000 M.

Jumat, 13 Mei 2011

Syair Arab ttg Cinta

أحـبـك حـبـاً لـو تـحبين مـثـلــــــــــــه أصـابـك من وجـــدي عـلـى جـنـونــي

Aku sungguh mencintaimu dengan cinta yang jika kau merasakan cinta ini niscaya kau akan gila karenanya

أحـبـك كالـبـدر الـذي فـاض نـــــوره على فـيـح جـنـات و خـضـر تـــــلال

aku mencintaimu laksana bulan yang cahayanya menerangi taman nan luas dan bukit nan hijau..


أحـبـك حـتـى كـأن الـهـــــــــــــــــــــوى تـجـمـع و ارتـاح في أضـلــــــعـي


aku mencintaimu.. seakan-akan rasa cinta berkumpul dan merasakan ketenangan di tulang rusukku,,,


فـلـو كـان لي قـلـبـان عـشـت بـواحــد و أبـقـيـت قـلـبـاً في هـواك يـعـذب


kalaulah ku memiliki dua hati.. aku kan hidup dengan satu hati.. dan aku sisakan satu hatinya tertawan dengan mencintaimu..



سـحرتـني حبـيـبتي بـسواد عيونـهـــا إنـمـا السـحـر في سـواد الـعـيـــــــــــون


cintaku kau menyihirku dengan hitam matamu.. sesungguhnya sihir itu ada pada hitamnya mata..


نقل فؤادك حيث شئت من الهــــــــــوى ما الــحـب إلا لـلـحـبـيــــــــــب الأول

palingkanlah hatimu kepada siapa saja yang kau cinta.. tidaklah cinta kecuali kembali kepada cinta yang pertama..

janganlah kau berdusta atas nama cinta.. lalu kau lampiaskan cinta dengan syahwatmu.. jagalah hati dengan cinta Nya.. karena betapapun kita memalingkan hati, hanya kepada Nya lah kita kembali.. dan hanya Ia lah cinta Nya abadi..

kecantikan yang mempesonamu.. apalah artinya jika hanya menyesatkanmu.. jangan tertipu dengan bisik godaannya.. betapa banyak orang yang mengaku patah hati.. padahal cinta belum lah halal baginya.. lalu merenunglah ia dan menangisinya.. sudikah ia menangisi maksiatnya karena enggan menjauh darinya??

sesungguhnya cinta hakiki membawa kepada kebahagiaan abadi.. raihlah cinta yang berpahala.. cinta yang suci di atas perjanjian yang kuat.. Ia menggambarkannya sebagai "mitsaqon gholidzho"

"...Dan mereka (isteri-isterimu) telah mengambil dari kamu perjanjian yang kuat.” (An-Nisa: 21)

-allahummaghfirlii maa qoddamtu wa maa akh-khortu-



Sejarah Ilmu Nahwu


Sejarah Ilmu Nahwu ( Bahasa Arab )

Banyak hal yang menyebabkan ilmu nahwu disusun. Secara umum sebab nya adalah seputar  kekeliruan orang-orang arab pada bahasa mereka yang disebabkan bercampurnya mereka dengan orang-orang ‘ajam (non arab) yang masuk islam sehingga mempengaruhi tata bahasa mereka. Diantara penyebab utama disusunnya ilmu nahwu adalah:

- Pada masa Rasulullah diriwayatkan bahwa ada seseorang yang keliru bahasanya, maka Rasulullah bersabda: “ Bimbinglah saudura kalian ini.. Sesungguhnya dia tersesat"

- Berkata Abu Bakar Ash Shidiq: “Aku lebih menyukai jika aku membaca dan aku terjatuh daripada aku membaca dan aku keliru

- Pada masa Umar bin Khattab, bahasa yang keliru di kalangan orang arab semakin menjamur. Hal ini disebabkan karena perluasan daerah kekuasaan Islam sehingga banyak orang-orang ‘ajam yang masuk islam. Diantara kesalahan-kesalahan yang terjadi:

1. Umar melewati suatu kaum yang buruk lemparan (tombak) nya maka beliau mencela mereka. Mereka pun menjawab:

إِِنَّا قَوْمٌ مُتَعَلِّمِيْنَ


(Makna yang mereka inginkan adalah: “sesungguhnya kami adalah kaum terpelajar”. Akan tetapi mereka keliru karena  yang benar إِنَّا قَوْمٌ مُتَعَلِّمُوْنَ dengan merofa’kan kata مُتَعَلِّمِيْنَ)

Umar berpaling dari mereka karena marah dan berkata:"Demi Allah kesalahan kalian pada lisan kalian lebih berat menurutku daripada kesalahan kalian pada lemparan (tombak) kalian".

2. Abu musa Al Asyari mengirimkan surat kepada amirul mukminin Umar bin Khathab yang tertulis di situ kalimat

مِنْ اَبُوْ مُوْسَى إِلَى أَمِيْرِ المُؤْمِنِيَْنَ عُمَرٍ بْنِ الخَطَّابِ


(Dari abu musa kepada Amirul mukminin Umar bin Khathab. Namun secara kaidah bahasa, kalimat yang tepat مِن اَبِيْ مُوْسَى dengan menjarkan kata “اَبُوْ”)

Umar membalas surat tersebut dengan: "Sebaiknya kau cambuk Juru tulis mu (karena keliru)". Juru tulisnya adalah Abul Hushain Al Anbary.

3. Seorang laki-laki dari gurun (badui) masuk Islam dan meminta diajarkan sesuatu dari Al Quran. Kemudian seorang kaum muslimin membacakan awal surat At Taubah:

"Dan (inilah) suatu permakluman daripada Allah dan Rasul-Nya kepada umat manusia pada hari haji akbar bahwa sesungguhnya Allah dan RasulNya berlepas diri dari orang-orang musyrikin. Kemudian jika kamu (kaum musyrikin) bertobat, maka bertaubat itu lebih baik bagimu ; dan jika kamu berpaling, maka ketahuilah bahwa sesungguhnya kamu tidak dapat melemahkan Allah. Dan beritakanlah kepada orang-orang kafir (bahwa mereka akan mendapat) siksa yang pedih."( At Taubah : 3)

Akan tetapi orang tersebut membacanya sebagai berikut:

أَنَّ اللّهَ بَرِيءٌ مِنَ المُشْرِكِيْنَ وَرَسُوْلِهِ


Yaitu dengan mengkasrahkan kata رَسُوْلُ"” sehingga artinya berubah menjadi “bahwa sesungguhnya Allah berlepas diri dari orang-orang musyrikin dan RasulNya.”

Berkatalah orang badui tersebut: “Apakah benar bahwa Allah berlepas diri dari Rasul Nya?  Demi Allah aku akan berlepas diri dari orang yang Allah berlepas diri darinya.” Ketika Umar mengetahui hal tersebut, ia mengutus seseorang ke orang tersebut dan membenarkan bacaannya dan Ia berseru kepada manusia:"Hendaknya seseorang tidak membaca Al Quran kecuali ia mengetahui bahasa Arab".

Ini adalah beberapa contoh kekeliruan-kekeliruan yang terjadi pada orang-orang arab disebabkan bercampurnya mereka dengan orang-orang non-Arab.  Kekeliruan ini tidak bisa dibiarkan karena dapat merusak pemahaman kaum muslimin terhadap Al Quran sebagaimana contoh yang disebutkan di atas. Oleh karena itu, ilmu nahwu disusun agar memudahkan seseorang dalam mempelajari kaidah-kaidah bahasa Arab sehingga tidak keliru dalam memahami kalimat bahasa Arab.

Pencetus Ilmu Nahwu

Ada perbedaan pendapat di kalangan ulama nahwu tentang siapa pencetus ilmu nahwu. Diantara mereka ada yang berpendapat bahwa pencetus ilmu nahwu adalah:
  1. Amirul mu'minin Ali bin Abi Thalib
  2. Abul Aswad Ad Du'aly atas perintah dari Khalifah Umar bin Khathab
  3. Abul Aswad Ad Du'aly atas perintah Khalifah Ali bin Abi Thalib atau atas perintah Ziyad, pemimpin Bashrah atau Abul Aswad sendiri yang mencetuskan nya yang dipicu oleh percakapan antara beliau dan anak perempuan nya. Berkata anaknya: "wahai ayahku.. مَا أَحْسَنُ السَّمَاءِ (Apa yang paling indah dari langit?)" - dengan merofa'kan (membaca dhammah)  kata " أَحْسَنُ " dan menjarkan (membaca kasrah) kata "السَّمَاءِ" . Beliau pun menjawab:"Bintang-bintangnya". Anaknya pun berkata:"Aku bukannya bertanya wahai ayah.. tetapi aku sedang merasa takjub..". Belaiu pun menjawab:"Kalau begitu seharusnya yang kamu ucapkan adalah.. مَا أَحْسَنَ السَّمَاءَ (betapa langit yang indah!)" – dengan membaca fathah kata "أَحْسَنَ " dan "السَّمَاءَ ".
  4. Abdurrahman bin Humuz Al A'raj
  5. Nashr bin 'Ashim Al Laitsy

Pendapat yang paling kuat dari pendaat-pendapat di atas adalah pendapat yang menyebutkan bahwa pencetusnya adalah Abul Aswad Ad Du'aly atas perintah dari Khalifah Ali Bin Abi Thalib ketika terjadi banyak kekeliruan orang arab terhadap bahasa nya sendiri khususnya kekeliruan mereka dalam membaca Al Quran dan Hadits.

Begitulah sejarah lahir nya ilmu nahwu dimana bisa kita baca dengan jelas bahwa tujuan utamanya adalah agar kaum muslimin dapat membaca Al Quran dan Hadits dengan benar sehingga bisa memahami maksud yang terkandung di dalamnya. Allah Subhanahu wata'ala berfirman:

""Sesungguhnya Kami menurunkannya berupa Al Quran dengan berbahasa Arab, agar kamu memahaminya." (Yusuf : 2)

Imam Syafi’i rohimahulloh berkata, “Manusia tidaklah menjadi bodoh dan berselisih kecuali ketika meninggalkan bahasa Arab dan cenderung kepada bahasa Aristoteles (bahasa orang barat).” [Siyaru A’lamin Nubala, 10/74]

Benarlah perkataan penyair yang berkata:

النَّحْوُ أَوْلَى أَوَّلاً أَنْ يُعْلَمَ..  إِذْ الكَلاَمُ دُوْنَةُ لَنْ يُفْهَمَ..


(Ilmu nahwu adalah hal pertama yang paling utama untuk dipelajari.. karena perkataan tanpanya, tak dapat dipahami..)

* Disarikan dari Diktat Kuliah Ilmu Nahwu, Universitas Al Madinah Internasional (MEDIU)

Khairul Umam Al Batawy

Pelajaran Bahasa Arab 1

This is… - هَـٰذَا...  

Introduction - مُقَدِّمَةٌ
  • Please read the sentences below. After completing the sentences we shall go over the rules for this lesson.
  • In Part 1 of Lesson 1 we learn how to use the pronoun هَـٰذَا which means 'This' (called the demonstrative pronoun in grammar). /Hādhā/ is pronounced هَاذَا but is written without the first /alif/. The second word is the noun (object) being referred to, e.g.: بَيْتٌ means house.
Please click on the words to hear speech, i.e. how the words should be pronounced.
  • Arabic has no word which is equal to the English word "is" which is referred to as a “copula” in grammar. We can see this rule demonstrated above where we see the words for هَـٰذَا and the noun/predicate مَسْجِدٌ being referred to without any copula. i.e.  هَـٰذَا مَسْجِدٌ  If read literally this sentence would read "This a mosque", however, the word "is" can be implied in this sentence so that it reads "This is a mosque".
  • There is no word in Arabic corresponding to "a" in English as in: "This is a book". The n-sound, i.e. the /tanwīn/ (doubled vowel sign) at the end of the Arabic noun (kitābu-n, baitu-n, masĴidu-n) is the Arabic indefinite article corresponding to the English "a/an". 
  •  
This is… - هَـٰذَا...  

  • In-Shā’-Allâh (God-willing), we will continue practicing with some more examples of using the phrase /hādhā/ هَـٰذَا which means 'This is'.
Please click on the words to hear speech, i.e. how the words should be pronounced.
  • We have learnt how to say 'This is' using the phrase /hādhā/. Now, we will learn how to say 'What is this?' to ask a question followed by the answers to the questions In-Shā’-Allâh (God-willing). Please click on part 3 below to proceed.
  •  
This is… - هَـٰذَا...  
 Continued …
  • In this part of lesson 1 we will learn the phraseمَا هَـٰذَا؟  which means "What's this". We shall then answer the questions with the phrase we learnt in the earlier parts, i.e. /hādhā/ هَـٰذَا.
  • We will also learn the phrase أَهَـٰذَا.....؟ which means "Is this...?", for example أَهَـٰذَا بَيْتٌ؟ which means "Is this a house?”.
  • In addition, we will learn the words for Yes and No in Arabic to answer these questions.  The word for Yes in Arabic is نَعَمْ, and the word for No in Arabic is لا.
  • As we have already learnt, the Arabic script is read from right to left, please read the sentences below from right to left.
Please click on the words to hear speech, i.e. how the words should be pronounced.
  • In the next parts we will learn the phrase مَنْ هَـٰذَا؟ which means "Who is this?" followed by some more sentences to revise what we have learnt in this lesson, In-Shā’-Allâh (God willing).